Exploring the (Un)known is Not Always Fun
- Annisa Erou
- Jul 30, 2017
- 4 min read

Diambil di: Pulau Sangiang, Banten, Indonesia
Tidak banyak orang tahu bahwa perjalanan tidak selalu berarti hidup enak dan bepergian dengan nyaman.
Selepas perjalanan usai, pulang membawa cerita, jelas iya. Pulang membawa kenangan indah, belum tentu.
Kau kira para petualang dari majalah pecinta alam ternama berskala dunia itu selalu terbang dengan jet mewah untuk sampai di lokasi yang mereka tuju?
Kau kira para petualang dari majalah pecinta alam ternama berskala dunia itu selalu tidur beralaskan ranjang tebal dengan seprai sutra di hotel bintang lima?
Mereka menerjang ombak dan badai dalam sebuah kapal kayu yang terlihat begitu renta demi sebuah foto seorang nelayan dalam latar hitam-putih klasik, demi sepotong berita soal Harimau Sumatera yang terancam punah, atau juga demi sekilas video berdurasi sekian detik yang nyatanya mereka ambil dan satukan setiap harinya selama berbulan-bulan lamanya.
Mereka tidur hanya dengan beralaskan bumi dan beratapkan semesta. Kau punya bantal guling empuk yang kau sayang-sayang di kamarmu yang sejuk setiap malamnya, dan mereka hanya punya suara jangkrik, cahaya kunang-kunang, kicau burung dan kokok ayam yang bergantian menemani mereka setiap harinya.
Kau, dari sekian banyak orang yang memahami perjalanan dan membekukan momen melalui sebuah lensa, pastinya mengerti, bukan?
Dalam salah satu perjalanan yang kau lakukan, kau sendiri harus berangkat dini hari sekali, langit masih gelap, malam sudah larut tapi pagi belum juga datang, demi sebuah foto berlatar danau yang dikelilingi kabut putih bermandikan cahaya begitu kau sampai di sana.
Dalam salah satu perjalanan yang kulakukan, aku harus basah kuyup terciprat-ciprat air laut ditambah lagi dengan terkena angin di kapal yang cukup kencang hingga membuatku hampir menggigil kedinginan, demi sebuah foto di suatu pulau kecil tanpa penduduk dengan gradasi warna laut yang mempesona.
Orang-orang sering kali tidak memahami itu.
Yang mereka pahami soal perjalanan hanyalah sebatas apa yang mereka lihat dalam sebuah foto dengan ekspresi wajah kita yang tertawa – padahal untuk sampai pada tahapan itu, kita harus menangis.
Yang mereka pahami soal perjalanan hanyalah sebatas apa yang mereka dengar dalam sebuah lagu petualangan dengan lirik yang penuh rasa bahagia – padahal untuk sampai pada perasaan itu, kita harus bersedih.
Inti dari perjalanan yang sesungguhnya bukanlah soal destinasi yang kau tuju. Namakanlah – Tanjung Bira, Kepulauan Kei, Pantai Ora, Air Terjun Sipiso-piso, Danau Labuan Cermin, Pulau Tumbak, Raja Ampat, dan lain sebagainya. Karena kenyataannya, kau tahu kau akan pergi kemana, tapi kau tidak tahu apa yang akan kau dapatkan di sana. Bagaimana lautnya, bagaimana hutannya, bagaimana orang-orang lokal yang akan kau temui bahkan hingga bagaimana teman-teman seperjalananmu sendiri, atau sesama rekan seperjalanan lainnya, yang akan menemanimu hingga sampai di sana.
Kita tahu, tapi tidak sepenuhnya tahu, bukan? Dan eksplorasi rasa (ketidak)tahu(an) itu tidak selamanya menyenangkan, bukan?
Eksplorasi rasa (ketidak)tahu(an) itulah yang menjadi inti dari perjalanan yang sesungguhnya.
Kita juga harus menemui begitu banyak para pelaku perjalanan lainnya yang tak kalah banyak gaya perjalanannya. Ada yang suka melakukan perjalanan sendirian dan hanya memanggul ransel di punggung setiap waktunya, ada yang suka melakukan perjalanan dengan gaya yang mewah dan berpesiar kemana-mana, ada yang suka melakukan perjalanan dengan bergabung bersama para pelaku perjalanan lainnya agar biaya yang dikeluarkan menjadi murah, ada yang suka melakukan perjalanan dengan bersepeda dengan memulainya dari titik terujung bagian timur di suatu negara hingga titik terujung bagian barat negara tersebut atau pula sebaliknya, dan masih banyak lagi gaya perjalanan lain yang kerap dilakukan oleh para pelaku perjalanan di dunia.
Bisakah kita memilih dan menyatakan satu yang paling baik di antaranya?
Bisakah kau dan aku menilai satu yang paling bagus di antaranya?
Apakah kau yakin pilihanmu benar adanya, bukan hanya soal rasa dan selera?
Pada akhirnya kita harus berdamai dengan pelaku perjalanan manapun yang menggunakan gaya perjalanan apapun. Mungkin bagi orang, itu sepele. Bagiku, justru salah satu hambatan sekaligus tantangan terbesar dalam setiap perjalanan adalah soal itu.
Dalam dua perjalanan berbeda yang kulakukan baru-baru ini, aku banyak belajar dari dua tipe pelaku perjalanan yang karakternya amat sangat bertolak belakang. Tipe yang pertama adalah tipe pelaku perjalanan yang senantiasa merasa bangga dengan pencapaian yang telah mereka raih selama ini dengan menaklukkan begitu banyak destinasi indah di berbagai penjuru negeri, sayangnya, pengalaman mereka itu tidak membuat kita merasa tersentuh apalagi ikut bahagia, namun justru kesal karena aura kesombongan yang mereka keluarkan. Sedangkan, tipe yang kedua adalah tipe pelaku perjalanan yang senantiasa rendah hati dan tidak banyak omong soal pencapaian mereka terkait dengan perjalanan yang telah mereka lakukan, namun kebaikan hati, keramahtamahan sikap dan kemampuan mereka memahami dan memperlakukan para pelaku perjalanan lainnya dengan begitu baik dan begitu tenangnyalah yang membuat kita tahu, sadar dan takjub dengan pengalaman mereka yang tidak sedikit dan pemikiran mereka yang tidak dangkal.
Bertemu, belajar dan berusaha mencontoh pelaku perjalanan tipe kedua inilah yang merupakan pelajaran terbesar yang kudapatkan dari perjalanan itu sendiri. Kau tidak tahu ada orang-orang seperti mereka, kau tidak tahu akan banyak belajar dari mereka, tetapi pada akhirnya kau merasa bahagia dan luar biasa bersyukur dapat dipertemukan dengan orang-orang seperti mereka.
Aku berharap kita bisa selalu melangkah dan melakukan perjalanan setiap detiknya. Kalau terlampau sibuk atau belum punya kesempatan, mudah-mudahan kita bisa melakukannya menggunakan berbagai macam medium yang pada zaman ini sudah disodorkan di depan mata kita dengan mudah. Mungkin dari buku, film, musik, lukisan, dan dari bentuk seni maupun bentuk sastra yang lainnya.
Aku berharap dalam setiap langkah dan perjalanan yang kita lakukan, pada akhirnya kita bisa menjadi pelaku perjalanan tipe kedua sebagaimana yang telah kusampaikan di atas, dan tidak sekalipun dibiarkan Tuhan untuk menjadi tipe pelaku perjalanan yang pertama.
Aku berharap dalam setiap kesulitan, kesedihan, kemarahan, kekecewaan dan rasa putus asa yang kita alami sebelum, di tengah-tengah maupun setelah perjalanan itu usai, akan selalu ada cahaya kesabaran dan ketenangan yang membuat kita terus bergerak maju dan bukannya diam di tempat atau justru mundur ke belakang.
Aku berharap kita selalu bersemangat dan berbahagia mengeksplorasi rasa (ketidak)tahu(an) yang kita miliki dan melakukannya lagi, lagi, dan lagi hingga dunia tak lagi membutuhkan kita dan mengirim kita untuk belajar dan tinggal di alam yang berbeda dan dalam jenis kehidupan yang tidak lagi sama.
Aku berharap kita selalu menjadi kita. Atau berubah menjadi sosok lain yang jauh lebih baik dari sekadar kita setelah kita belajar dari perjalanan.
Terima kasih sudah membaca ceritaku dan mencoba memahami pemikiranku.
Aku tidak sabar untuk melangkah dan melakukan perjalanan denganmu.
Salam,
Annisa Erou
Manggar, Jakarta,
26 Juli 2017 8.19 pagi
Comments