Cerita Perjalanan dari Ujung Barat Jawa - Taman Nasional Ujung Kulon
- Annisa Erou
- Jul 16, 2017
- 6 min read

Diambil di: Muara Sungai Cigenter, Pulau Handeuleum, Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, Indonesia
Sampai pada saat ini selesai ditulis, foto-foto yang kuambil belum selesai diedit apalagi diunggah. Foto-foto kami (aku dan adikku) yang diambil oleh para pemandu perjalanan juga belum dikirimkan kepada kami, jadi aku pikir daripada aku semakin lama semakin bosan dan semakin rindu kembali ke pulau, lebih baik aku mulai menulis saja.
Perjalanan menuju Taman Nasional Ujung Kulon adalah perjalanan yang direncanakan sebagai kilas balik dari perjalanan menuju Taman Nasional Tanjung Puting bertahun-tahun yang lalu pada saat kami masih tinggal di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Alasan utama mengapa kami memilih untuk melakukan perjalanan ini adalah karena adanya sesi mendayung di Sungai Cigenter yang pemandangan hutannya mengingatkan kami pada pemandangan hutan dalam perjalanan melintasi Sungai Sekonyer menuju Taman Nasional Tanjung Puting.
Sebenarnya, perjalanan ini hampir saja batal kami lakukan karena pada tanggal yang sama (7-9 Juli), kami lebih memilih untuk melakukan perjalanan ke Teluk Kiluan, Lampung. Sayangnya (atau justru untungnya), perjalanan ke Teluk Kiluan tersebut dibatalkan oleh travel agent kami, dan sebagai gantinya kami memilih untuk mengunjungi Taman Nasional Ujung Kulon – yang pada kenyataannya tidak kalah indah bila dibandingkan dengan Teluk Kiluan sendiri.
Untuk bisa sampai ke Taman Nasional Ujung Kulon, kami harus menempuh perjalanan darat ke Sumur, Pandeglang, Banten dari Jakarta menggunakan bus selama kurang lebih 6 hingga 7 jam. Lalu, dari Sumur kami harus menempuh perjalanan laut dengan menggunakan kapal untuk menuju Pulau Peucang selama kurang lebih 3 jam. Intinya, it needed such an effort to go there. Tapi, begitu sampai di Pulau Peucang, semua rasa lelah dan pegal-pegal itu benar-benar terbayarkan karena pemandangan yang kami dapatkan di sana – air laut yang biru jernih, pepohonan yang hijau dan rimbun serta pasir putih yang menyerupai tepung, belum lagi semua babi hutan, rusa dan kera yang berkeliaran bebas lantaran merupakan penduduk asli Pulau Peucang. Omong-omong soal hewan-hewan liar yang berkeliaran bebas itu, aku benar-benar tidak bohong, lho. Kau hanya harus keluar dari kamar tempatmu menginap dan duduk-duduk di terasnya - atau paling tidak melongokkan kepala saja dari jendelanya - dan kau langsung bisa berinteraksi langsung dengan babi hutan, rusa maupun kera di sana. Benar-benar wildlife, deh.
Sebelum sampai di Pulau Peucang sendiri, kami sudah berkali-kali diingatkan oleh para pemandu perjalanan bahwa tidak akan ada minimarket, warung maupun perumahan penduduk di sana, sehingga sebaiknya kami sudah menyiapkan beberapa kudapan sendiri sejak awal (yah, hanya apabila kau memang suka mengudap - seperti adikku, lol). Di samping itu, di Pulau Peucang tidak ada sinyal. Listrik juga hanya menyala pada pukul 6 sore hingga 7 pagi, di luar jam tersebut, tidak ada listrik sama sekali. Dua hal ini – soal sinyal dan listrik – bagiku merupakan hambatan terbesar selama berada di sana. Kau tahulah, aku yang budak sosial media ini lumayan sulit beradaptasi tanpa mencoba eksis di sana sini, hahaha. Meskipun demikian, sebenarnya itu juga bisa menjadi keuntungan berada di Pulau Peucang – ada kalanya kita sebagai manusia terlalu sibuk dengan segala hiruk pikuk dunia dan seakan berjalan bahkan berlari tanpa henti, Pulau Peucang menawarkan kesempatan untuk diam sejenak, berhenti sesaat, menghargai semesta dan menikmati kehidupan.
Setelah sampai di Pulau Peucang, kami hanya beristirahat sebentar untuk menaruh barang di penginapan lalu lanjut untuk trekking ke Pantai Karang Copong. Aku suka treknya – lagi-lagi karena hutannya, hutan lindung Taman Nasional Ujung Kulon Pulau Peucang, lumayan mirip dengan hutan di Taman Nasional Tanjung Puting, hanya kurang orangutan saja yang bergelantungan di antara pohon-pohonnya – meskipun lumayan jauh juga untuk bisa benar-benar sampai di Pantai Karang Copong. Pantai Karang Copong sendiri lumayan bagus, penuh dengan karang dan sekilas terlihat mirip dengan Tanah Lot. Trekking balik dari Pantai Karang Copong ke penginapan yang justru lumayan melelahkan – tidak ada jalan potong, omong-omong – hingga membuatku merasa seperti mau pingsan.
Sekembalinya dari Pantai Karang Copong, kami istirahat untuk makan siang sebentar lalu lanjut lagi untuk snorkeling. Mengenai snorkeling tidak akan kuceritakan lebih lanjut, ya, karena aku tidak begitu suka maupun menikmatinya, jadi pada saat rekan-rekan kami yang lain sedang snorkeling, aku cukup berjemur saja menikmati matahari di kapal, hehehe. Kami kemudian menikmati senja di Dermaga Cidaon yang terletak di Semenanjung Ujung Kulon - yang notabene berada di seberang Pulau Peucang - pada sore harinya dan selain itu kami juga menikmati purnama pada waktu malam di hari yang sama. Purnama terlihat sangat jelas dari pinggiran pantai Pulau Peucang, kawan, bahkan pantai pun menjadi sangat terang karenanya. Luar biasa sekali.
Keesokan harinya, kami kembali menyeberang ke Cidaon untuk pergi mengunjungi padang penggembalaannya. Trekking untuk sampai ke padang penggembalaannya sendiri singkat (berbeda jauh dengan trekking ke Pantai Karang Copong). Di Padang Penggembalaan Cidaon ini, kami bisa melihat beberapa banteng yang dilindungi. Sayangnya, kami tidak bisa melihat terlalu dekat karena sudah diperingatkan bahwa jarak pandang yang diperbolehkan hanyalah sekitar 200 meter dari tempat kami berdiri. Padang Penggembalaan Cidaon merupakan padang rumput yang menurutku, sih, agak-agak miriplah dengan padang rumput di Afrika. Keren pokoknya.
Selepas dari sana, kami melanjutkan perjalanan ke Sungai Cigenter yang berada di Pulau Handeuleum. Perjalanan ke Pulau Handeuleum lumayan menegangkan pada awalnya karena air laut pada saat itu sedang pasang sehingga kapal kami benar-benar berayun kesana kemari berusaha memecah ombak – aku menyangka kami akan jatuh ke laut pada saat itu juga dan berkali-kali meyakinkan diri bahwa terdapat banyak pelampung di buritan kapal, jadi kalau ada apa-apa, aku hanya harus berlari ke belakang dan memakai salah satu dari pelampung-pelampung itu – dan karena itu kami berkali-kali terciprat ombak. Lama kelamaan tidak ada masalah, sih, karena justru terasa seru seperti sedang berada di salah satu wahana di taman bermain saja. Soal pakaian kami yang menjadi basah juga tidak apa, karena toh setelah mengunjungi Sungai Cigenter di Pulau Handeuleum, kami semua akan snorkeling juga (atau berjemur saja menggunakan baju renang di kapal, bagiku). Jadi, menghadapi air laut yang pasang dan berada di kapal yang berayun kesana kemari berusaha memecah ombak selama dua jam penuh hingga membuat pakaian kami menjadi basah semua justru merupakan pengalaman menarik yang kami alami dalam perjalanan kali ini (kapan lagi, bukan?)
Sesampainya di Pulau Handeuleum, kami langsung mulai mendayung dari muara Sungai Cigenter. Perahu dayung yang kami naiki memuat sekitar 7 orang dengan 5 dayung (jadi, tidak semua orang harus mendayung). Perjalanan mendayung ini benar-benar asyik, aku luar biasa suka dengan pemandangan hutannya dan suara-suara alami hewan-hewan liar di sana. Kami jadi benar-benar dekat bahkan menyatu dengan alam. Sayangnya, perjalanan mendayung ini tidak begitu lama, mungkin hanya sekitar 20 sampai 30 menit saja. Tapi, paling tidak, lumayan seru dan terutama memuaskan rasa rindu dengan bayangan Sungai Sekonyer yang mirip Sungai Cigenter, hehehe.
Dari Pulau Handeuleum, kami makan siang sebentar di kapal lalu lanjut ke Pulau Badul. Perjalanan laut menggunakan kapalnya masih sama berayunnya seperti perjalanan dari Cidaon ke Pulau Handeuleum, tapi kami sudah terbiasa sehingga sudah tidak takut ataupun merasa tegang lagi. Nah, sejak sebelum pergi, aku sudah tahu bahwa Pulau Badul ini bagus sekali karena terlihat agak mirip dengan Pulau Gusung di Kepulauan Derawan. Pulau Badul berukuran tidak begitu besar, sehingga kami bisa mengelilinginya dengan berjalan kaki hanya dalam waktu sekitar 20 menit. Pantainya penuh karang juga, meskipun tetap lebih banyak karang yang ada di Pantai Karang Copong. Selain itu, kalau berdiri di bagian depan pulaunya yang menghadap ke lautan, akan terlihat 3 gradasi warna laut yang begitu jelas dan sangat indah. Aku amat sangat suka sekaligus puas. Selesai main-main di Pulau Badul, barulah kami kembali ke Sumur dan melanjutkan perjalanan darat untuk pulang ke Jakarta menggunakan bus.
Demikianlah cerita perjalananku kali ini. Aku luar biasa merasa bersyukur diberi kesempatan untuk dapat berkunjung ke salah satu taman nasional lagi yang Indonesia miliki. Kau tahu, bucketlist-ku adalah pergi mengunjungi semua taman nasional mulai dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia dan pada akhirnya menutupnya dengan kembali ke Taman Nasional Tanjung Puting. Aku harap dalam perjalanan mengunjungi taman nasional yang berikutnya, kau bisa ikut bersamaku, kawan, dan kita bisa menikmati perjalanan bersama-sama. Kabari aku dan ceritakan padaku bagaimana kesan perjalananmu dalam liburan musim panas kali ini, ya.
Terima kasih sudah membaca ceritaku. Sampai bertemu.
Save money, travel plenty, and be happy. ¡Vamos!
---
Special Thanks
Terima kasih banyak kepada Mbak Rizkia yang merupakan teman baru lalu menjadi teman dekat kami dalam perjalanan kali ini, semoga kita bisa kembali berada di perjalanan yang sama dalam waktu dekat!
Terima kasih banyak kepada Mas Fahrudin, salah satu pemandu perjalanan kami, yang bersedia membantuku untuk turun dari dan kembali ke kapal dari Pulau Badul serta menghabiskan sebagian memori kamera GoPro untuk memotret aku di semua spot terbaik di Pulau Badul, semoga selalu sukses dan semakin mencintai seninya perjalanan!
Terima kasih banyak kepada Anamta, traveller muda dalam rombongan perjalanan kami, yang meskipun tidak pernah benar-benar mengobrol denganku, namun hanya dengan melihatnya saja membuatku yakin bahwa perjalanan bisa dinikmati dan dicintai oleh siapa saja dan bahwa perjalanan tidak berbekal usia namun berbekal tekad, semoga selalu sehat dan semakin banyak menjelajahi Indonesia!
Annisa Erou
Manggar, Jakarta, 12 Juli 2017 9.15 pagi
Comments