Perjalanan Akhir Tahun 2016, Sulawesi Selatan
- Annisa Erou
- Jan 4, 2017
- 3 min read

Diambil di: Danau Matano, Sorowako, Sulawesi Selatan, Indonesia
Suasana Natal di Desa Tarue, Kabupaten Luwu Timur, Pedalaman Sulawesi Selatan tempat nenekku tinggal sebenarnya kurang begitu terasa, mungkin akan jauh lebih terasa di wilayah Tana Toraja yang mayoritas penduduknya adalah Umat Kristiani, yang mana jarak keduanya kurang lebih hanya tiga jam jauhnya. Meskipun begitu, kembali menikmati suasana pedesaan dengan kicau burung dan kokok ayam yang bersahut-sahutan tidak begitu buruk, malahan tepat untuk media introspeksi diri di akhir tahun dan media resolusi di tahun berikutnya. Akankah kita tetap menjadi orang-orang kota yang tidak sabaran dan mudah menyalahkan orang lain? Akankah kita tetap menjadi orang-orang yang kerap memuluskan tujuan sendiri dengan menenggelamkan orang lain? Akankah kita tetap menjadi orang-orang yang memiliki ambisi tanpa mimpi atau justru memiliki mimpi tanpa ambisi?
Perjalanan sebenarnya selalu membuat kita menemukan pelajaran.
Mulai dari hijaunya sawah di rawa-rawa dengan Rantemario terlukis sebagai latar belakangnya hingga semilir angin yang membelai rambut dengan lembut ketika duduk di salah satu saung pada pinggiran Pantai Labombo, pada saat itulah aku baru bisa kembali kepada peradaban dan teman-teman di tempat asal melalui untaian kabel tak kasat mata bernama sinyal telepon dan koneksi internet. Tapi, pada kenyataannya, mencoba merasakan tinggal di pedalaman seperti Desa Tarue ini sebenarnya tidak lantas membuat kita langsung mati, bukan? Orang-orang perlu menyadari--kau dan aku, khususnya--bahwa hidup itu lebih besar dan beragam daripada sekadar segi empat kecil pemberi kenikmatan semu yang sering disebut sebagai layar ponsel. Kau perlu datang dan menikmati esensi dari tempat seperti ini, kawan.
Selain itu, kau juga perlu datang ke Sorowako melalui wilayah-wilayah yang pernah sepintas kau baca di peta atau justru belum pernah sama sekali seperti Masamba, Bone-Bone, Burau, Bungadidi dan Wotu. Dua hari sebelum tahun 2016 berganti, aku pergi mengunjungi Danau Matano di Sorowako. Indah sekali, kawan. Kau perlu datang dan melihatnya secara langsung karena pemandangannya hampir menyaingi Ternate dan Tidore seperti yang ada di lembaran uang seribuan yang kau punya itu. Sudah begitu, jalanan ke sana naik-turun, berkelok-kelok dan berwarna kemerahan, hampir mirip dengan jalanan di Nairobi dalam gambar-gambar yang pernah kutunjukkan padamu itu. Yah, pada intinya, kau akan merasakan bahwa berjam-jam perjalanan yang ditempuh untuk sampai di sana sebanding dengan apa yang akan kau dapat pada akhirnya. Menyenangkan, bukan, melatih kesabaran dan daya tahan lalu mendapat cerita manis pada akhirnya?
Sorowako sudah dekat sekali dengan perbatasan Sulawesi Tenggara. Apa jadinya, ya, bila aku yang berasal dari Jakarta sampai di Makassar, singgah di Desa Tarue, Kabupaten Luwu Timur, Pedalaman Sulawesi Selatan, lalu lanjut ke Sorowako yang berbatasan dengan Sulawesi Tenggara dan melintas terus hingga Kendari serta kemudian menyeberang ke Wakatobi?
Mungkin suatu saat kita perlu berpetualang hingga harus hidup di dalam mobil dan di atas jalanan seperti itu, kawan.
Beda lagi ceritanya dengan Malam Tahun Baruku di Pantai Losari yang kurang sukses itu. Sejak masih berjalan mendekati kawasan Pantai Losari yang hanya berjarak sekitar 10-15 menit dari hotel tempat aku menginap, aku pikir Malam Tahun Baru itu akan berlangsung sesukses Malam Tahun Baru di Marina Bay Sands yang kurayakan tiga tahun lalu. Sebenarnya tidak ada yang salah kalau saja orang-orang itu tidak menembakkan petasan dan kembang apinya ke segala arah--sudah jelas-jelas seharusnya ke arah langit di atas laut saja--dan membuatku stres bukan kepalang dengan bayangan petasan dan kembang api itu bisa saja meledakkan kepalaku sewaktu-waktu. Adikku bilang, itulah yang dinamakan pesta rakyat--bagaimana rakyat setempat sesungguhnya berpesta merayakan pergantian tahun--tidak bisa disamakan dengan idealnya acara perjamuan Malam Tahun Baru yang kerap dilakukan oleh orang-orang Barat di televisi itu.
Nah, perjalanan lagi-lagi membuat kita belajar, bukan?
Aku juga pergi mengunjungi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di Maros. Bagiku, sih, air terjunnya biasa saja, ya, namun trekking ke Gua Batu lumayan berkesan dan terasa seperti nostalgia karena mengingatkanku pada trekking ke Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan dulu. Selain itu, pada trekking menuju Gua Batu itu, aku juga ditemani oleh beberapa kupu-kupu yang beterbangan cantik sekali. Tidak heran mengingat Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung memang dikenal karena varietas kupu-kupunya yang beragam. Sayangnya, begitu sampai di Gua Batu, kondisi di dalamnya gelap sekali, sehingga harus memakai penerangan yang dihargai Rp.50.000,- untuk setiap dua pengunjung namun tetap saja tidak ada pemandu yang dapat mengarahkan untuk masuk dan menjelajah gua. Alhasil, aku kembali saja ke titik awal di taman nasional tersebut dan malah pergi ke Museum Kupu-Kupu lalu membeli beberapa suvenir kupu-kupu.
Seperti itulah liburanku kali ini. Mungkin ceritaku terdengar membosankan karena tidak ada Tanjung Bira, Teluk Tomini, Kepulauan Togean, Taka Bonerate, Bunaken atau Wakatobi di dalamnya. Aku pun berdoa mudah-mudahan kesemuanya itu bisa menjadi tujuan perjalananku yang berikutnya. Lagipula, perjalanan kali ini sebenarnya adalah napak tilas perjalanan Trans Sulawesi Selatan sepuluh tahun yang lalu sekaligus perayaan Natal di pedalaman bersama nenekku.
Demikianlah. Kalau kau belum pernah ke Sulawesi, kunjungilah, maka kau akan terpesona.
Kalau kau sudah pernah ke Sulawesi, kembalilah, maka kau akan kembali terpesona.
Manggar, Jakarta, 4 Januari 2017, 3.56 sore
Annisa Erou
Comentarios