Catatan Perjalanan ke Negeri di Atas Awan
- Annisa Erou
- Aug 14, 2016
- 4 min read

Diambil di : Batu Ratapan Angin dengan pemandangan Telaga Warna, Dieng, Kejajar, Wonosobo, Jawa Tengah, Indonesia
Aku tidak pernah menyangka akan melakukan perjalanan darat yang panjang lagi setelah 2 tahun lalu melakukannya ke Pulau Bali yang terkesan dan terasa tidak sampai-sampai.
Gagasan untuk pergi mengunjungi Dataran Tinggi Dieng tiba-tiba saja muncul ketika waktu itu melihat-lihat suatu website perjalanan dan mengetahui akan diadakannya Dieng Culture Festival. Aku melihatnya sambil lalu saja, karena meskipun terdengar menarik, aku tidak punya uang berlebih untuk bepergian. Tak disangka, aku kemudian berulang tahun dan ibuku memberiku uang yang cukup yang serta merta langsung kukatakan saja kepadanya akan kupakai untuk membiayai perjalanan ke Dieng.
Dieng itu terdengar seperti negeri yang cukup jauh jaraknya dengan kota tempat kita tinggal saat ini. Naik pesawat ataupun kereta tidak bisa langsung sampai; naik bus pun juga tidak sampai-sampai. Namun, kalau boleh kubilang, jauhnya perjalanan itu terbayarkan dengan apa yang akan kita lihat di sana. Terletak di ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut, Dieng menawarkan pesona musim dingin yang biasanya hanya kita lihat di film-film berlatar luar negeri. Aku terpesona. Kita tidak akan dikatai berlebihan dengan menggunakan semua perlengkapan musim dingin yang kita miliki--penutup kepala, penutup telinga, syal, sarung tangan, dan jaket tebal serta pakaian berlapis-lapis di dalamnya. Ucapkan selamat tinggal pada celana pendek maupun tank top-mu, kau hanya akan menggigil kedinginan. Pakai jaket saja tetap menggigil kedinginan!
Kami mengunjungi Batu Ratapan Angin, Telaga Warna dan Dieng Plateau Theater pada siang dan sore hari pertama kunjungan ke Dieng. Aduh, kawan, pemandangannya benar-benar indah sekali. Seperti foto-foto pemandangan yang sering mampir di timeline Instagram-mu itu! Malamnya, kami pergi ke festival untuk menikmati pertunjukan Jazz Atas Awan. Pertunjukan itu diusung dengan tujuan merubah stigma bahwa Jazz yang selama ini terkenal mahal dan eksklusif, ternyata dapat digelar untuk dinikmati semua kalangan dengan temperatur 4 derajat Celcius. Nah, aku hanya bertahan sekitar satu setengah jam sebelum menggigil kedinginan. Selepas dari sana, aku dan teman seperjalananku berniat mencoba minuman khas Dieng bernama Purwaceng, susu yang ditambahi dengan semacam rempah-rempah yang terasa agak pedas di tenggorokan dan berbau seperti jamu serta makanan khas Dieng bernama Mie Ongklok, mirip-mirip dengan Mie Ayam namun terasa manis karena disajikan bersama sate ayam. Yah, bukan favoritku, tapi senang sudah mencoba.
Keesokan harinya, pukul 2.30 dini hari, kami sudah berangkat menuju Bukit Sikunir demi mengejar fajar. Aku akan menuliskan cerita mengenai Sikunir secara khusus karena begitu menyukainya. Setelah dari Sikunir, kami pergi ke Kawah Sikidang, yang mana aku tidak naik sampai ke atas karena badanku sudah terasa lengket akibat sudah siang namun belum mandi dan jaket serta pakaian tebal bekas mengejar fajar di Sikunir masih kukenakan. Sudah begitu, aku kurang suka dengan bau belerang di sana yang lumayan menyengat.
Sekitar pukul 1 siang di hari yang sama, kami bergegas pergi ke Candi Arjuna, candi kuno bernuansa Hindu yang terkenal di kawasan Dieng Plateau, namun kecewa karena ternyata kawasan sekitaran candi itu sudah ditutup karena dipersiapkan untuk Acara Pemotongan Rambut Gimbal yang akan dilaksanakan keesokan harinya. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke Museum Kailasa untuk melihat-lihat benda seni terkait dengan kebudayaan setempat. Merasa cukup puas di sana selama 20 menit, aku dan teman seperjalananku kemudian sepakat untuk membeli es krim dan mendengarkan pertunjukan musik sebentar di bagian atas Museum Kailasa. Tidak berselang lama, kami memutuskan untuk pergi mengunjungi Candi Gatotkaca lalu melanjutkan ke Pasar Malam di dekat situ--yah, memang masih siang, tapi Pasar Malamnya sudah ada--dan temanku mengajakku main Kora-Kora. Astaga demi langit dan bumi, itu Kora-Kora sama sekali tidak aman karena besi pengamannya bahkan bergoyang-goyang dan tidak pas mengunci pinggang kita! Aduh, stress aku. Dari sana, dengan kepala masih pusing dan jantung seperti mau copot, kami pergi ke bagian depan tempat festival (Kompleks Candi Arjuna) untuk membeli oleh-oleh dan setelah itu memutuskan makan di salah satu warung makan bernama Kedai Ongklok yang terletak di jalanan bagian depan sekitar 300 meter dari tempat festival. Temanku memesan sate ayam dan aku memesan nasi goreng ayam dan meskipun makanan itu lama sekali datangnya karena ramai pengunjung, tapi sumpah ternyata pesanan kami itu memang enak sekali, murah lagi!
Malamnya, seharusnya kami pergi ke Pesta Kembang Api dan melepas Lampion di tempat festival. Tapi, karena aku dan temanku memutuskan untuk menyusul saja rombongan kami yang sudah pergi 30 menit lebih dulu, begitu kami sampai di sana, tempat festival sudah penuh seperti ketumpahan ribuan manusia. Maka, kami memutuskan untuk memutar haluan dan justru bersantai-santai menghangatkan diri di salah satu warung makan--aku bahkan tidak tahu apa nama warung makan itu, tapi ia terletak di bagian kiri jalan menuju Museum Kailasa--untuk minum segelas Milo hangat dan makan ikan bakar. Hei, kawan, kalau kau mengunjungi Dieng, percayalah padaku, banyak-banyaklah makan karena makanan di sana itu enak-enak dan murah-murah!
Di hari ketiga sekaligus hari terakhir kami di Dieng, kami berkumpul pukul 6 atau 6.30 pagi--aku lupa jam berapa tepatnya, karena rombongan kami selalu telat jam berapapun tour leader kami menginstruksikannya--lalu berjalan bersama-sama untuk menunggu Kirab Budaya sebelum Acara Pemotongan Rambut Gimbal. Jadi, di Dieng itu ada banyak anak-anak berambut gimbal atau gembel yang katanya merupakan titisan dewa. Rambut gimbal mereka itu harus dipotong dengan upacara yang sakral dan tidak sembarangan. Mereka harus meminta sendiri supaya rambut gimbal mereka dipotong dan boleh meminta hadiah apapun--bahkan ada yang meminta anak sapi betina, lho!--yang kalau tidak salah dana hadiahnya itu dialokasikan khusus dari pemerintah daerah. Acara Pemotongan Rambut Gimbal diadakan di Kompleks Candi Arjuna, namun karena menurut tour leader kami di sana sudah penuh, lebih baik kami menonton bagian Jamasannya saja di Dhammasala. Jamasan itu adalah upacara yang mendahului Acara Pemotongan Rambut Gimbal yang mana rambut gimbal anak-anak itu akan dipercikkan semacam air suci. Setelah selesai, barulah rambut gimbal mereka itu dipotong dan nantinya dilarung di Telaga Warna ataupun Telaga Pengilon.
Nah, kurang lebih seperti itulah cerita perjalananku kemarin ke Negeri di Atas Awan alias Dieng Plateau. Oh ya, memang negeri itu seperti berada di atas awan, kawan. Kalau kau telah sampai di Dieng, kau akan melihat bahwa pegunungan di sana itu lebih tinggi daripada awan yang menggantung. Jadi, ternyata para pengelana itu tidak membual. Hahaha.
Omong-omong, ada satu hal yang amat sangat kusesali setelah selesai melakukan perjalanan itu. Kau tahu apa? Aku tidak berkenalan dengan satu-satunya cowok manis mirip Conor Maynard yang ada di rombongan kami. Sekarang aku jadi penasaran tapi tak bisa apa-apa deh.
Jakarta, tiga hari setelah pulang dari Dieng Plateau,
10 Agustus 2016 9.31 malam
Annisa Erou
Comments