top of page

Kepada Kara, 21 April 2009, Darwin, Australia

  • Writer: Annisa Erou
    Annisa Erou
  • Apr 21, 2016
  • 3 min read

Kara tidak pernah menyangka Lara, seorang teman lama yang merupakan gadis desa yang ia temui dalam perjalanannya di pedalaman Kalimantan Tengah delapan tahun silam, mengiriminya surat pagi ini. Kara tidak tahu bagaimana Lara bisa mengetahui alamatnya--mengingat ia sudah tinggal di Darwin, Australia bersama Andrew, kekasihnya sepanjang 4 tahun terakhir. Tapi yang membuatnya lebih terkesima, adalah apa yang Lara tulis kepadanya.

"Kemerdekaan itu bagiku, Kara, adalah menjalani kehidupanku yang sekarang ini. Aku tak henti-hentinya bersyukur karenanya. Kau tahu, hidup di masa lalu adalah masa-masa kelam bagiku. Aku harus berjuang menghadapi ayahku, ibuku, keluarga besarku ataupun juga bahkan teman-temanku yang sama sekali tak pernah mendukungku. Tapi kau tahu apa yang tersulit, Kara? Yang tersulit adalah menghadapi diriku sendiri. Karena seringkali akulah yang menjadi kritikus terbesar dari hidupku sendiri. Karena seringkali aku menyadari bahwa aku sebegitu inginnya keluar dari kehidupan yang itu-itu saja. Hidup dalam gelembung kecil komunitas di suatu desa pedalaman tidak bisa membuatku merasakan hidup yang sesungguhnya. Aku ingin pergi tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku buta langkah, buta peta.

Lalu tak berapa lama, kau dan Andrew datang dari kota bernama Jakarta yang kukenal hanya dari ucapan orang-orang sekitarku sebagai ibukota negeri ini. Itu seperti angin segar bagiku yang hampir menyerah menghidupi mimpi-mimpiku. Setelah kau dan Andrew pulang, aku mulai menyatakan niatku kepada ayah dan ibuku--dan di depan keluarga besarku tentu saja--bahwa aku ingin lebih merasa hidup dengan pergi mengelana, yang kau tahu tentu saja ditolak mentah-mentah. 'Perempuan itu tidak pantas pergi mengelana, pintar-pintarlah mengurus dapur, sumur dan kasur, dan kau akan hidup bahagia dengan suami dan anak-anakmu', begitu kata mereka. Tapi aku tidak percaya dan lagipula aku juga tidak peduli.

Jadi mulailah aku belajar baca tulis dengan modal memaksa Landro, kakakku yang tertua untuk mengajariku. Dan mulailah aku belajar membetulkan rumah dan bangunan lainnya dengan modal memaksa Lastro, kakakku yang kedua untuk melatihku. Semua keahlian yang pada umumnya dilekatkan hanya kepada perempuan seperti memasak, menjahit, merajut, membersihkan rumah dan lain sebagainya yang sudah aku kuasai, kembali aku perdalam. Intinya aku belajar apapun supaya aku punya bekal untuk menghidupi mimpi-mimpiku, Kara. Untuk keluar dari kehidupan yang itu-itu saja. Meskipun pada akhirnya teman-temanku mulai menyadari maksud dibalik kegigihanku mempelajari dan memperdalam semua keahlian tadi dan melaporkannya kepada orangtuaku hingga aku dimarahi, diteriaki, dimusuhi dan pada akhirnya diusir dari komunitas di desa pedalamanku sendiri. Tapi tidak apa-apa, justru memang itu yang aku inginkan, bukan? Aku tetap menghembuskan napas lega meskipun terombang-ambing di suatu kapal rongsok milik kenalan lamaku dalam perjalanan menuju Jakarta di Laut Jawa.

Singkat cerita, Kara, aku mengerjakan apa saja yang bisa kukerjakan di Jakarta hingga pada akhirnya hatiku tertambat pada keahlianku yang telah lama kumiliki sejak aku masih di desa, yakni menjahit dan membuat baju. Aku mulai bekerja pada semua pembuat baju yang bisa kutemui dan pada akhirnya menemukan seorang pembuat baju yang amat sangat galak namun juga amat sangat handal serta banyak sekali membagi ilmu, keahlian dan pengetahuannya kepadaku, namanya Andrea. Satu bulan yang lalu, Andrea memutuskan untuk pindah dari Jakarta dan meneruskan bisnisnya di Darwin, Australia. Kau tak bisa membayangkan bagaimana aku senang bukan kepalang diajaknya ikut ke Darwin karena diangkat sebagai asisten pribadinya. Dan kau juga tak bisa membayangkan, Kara, bagaimana aku kaget setengah mati ketika kemarin bertemu dengan Andrew di ruang tamu apartemen Andrea. Jadi ternyata mereka kakak beradik? Sepertinya aku memang berjodoh dengan kalian--kamu, Andrew dan Andrea. Lagi-lagi aku tak henti-hentinya bersyukur karena dipertemukan dengan kalian sehingga akhirnya bisa sampai di seberang lautan dalam negeri yang sama maupun di seberang lautan dalam negeri dan benua yang sama sekali berbeda.

Dan kau tahu, Landro dan Lastro--kedua kakakku yang mau saja kupaksa-paksa untuk mengajariku--masih berhubungan denganku saat ini melalui surat meskipun orangtuaku sama sekali tidak tahu, atau tepatnya tidak mau tahu. Kata mereka dalam surat terakhirnya, 'Lara, kami tidak menyangka kau kini sudah berada di sepotong bagian bumi yang hanya kami kenal sebagai Benua Kangguru dari peta yang sudah lusuh nyaris tak tersentuh di gudang. Hebat sekali, Dik. Hebat sekali. Ayah dan Ibu tidak mau tahu tentu saja, tapi yakinlah bahwa kami sangat bangga kepadamu. Mungkin suatu saat bila kau sudah sukses dan sedang plesir kemari, kau bisa mengajak abang-abangmu yang tak tahu apa-apa ini kesana.' seperti itulah, Kara, kata-kata Landro dan Lastro kepadaku dalam surat terakhir mereka. Jadi, untuk menyampaikan ucapan terima kasihku secara langsung, untuk segala sesuatunya, aku harap kita--aku, kau dan Andrew--bisa kapan waktu bertemu.

21 April 2009, Darwin, Australia, Lara."

***

Ditulis dalam rangka memperingati Hari Kartini. Semoga perempuan-perempuan Indonesia (dan perempuan-perempuan di belahan bumi lainnya) bisa menjadi seperti Lara dan juga tentunya seperti Ibu Kartini yang tidak pernah lelah mendedikasikan hidup demi merealisasikan mimpi-mimpi.

Related Posts

See All

Comments


All Rights Reserved. © 2016-2018 by Annisa Erou

  • Grey Facebook Icon
  • Grey Instagram Icon
  • Grey Twitter Icon
  • Grey Google+ Icon
  • Grey Pinterest Icon
bottom of page