top of page

Karena Kita Setara dan Sudah Tugas Kita Memanusiakan Manusia

  • Writer: Annisa Erou
    Annisa Erou
  • Mar 29, 2015
  • 3 min read

“Apakah kamu mampu bekerja sekaligus menjadi istri dan ibu yang sama baiknya?”

Kalimat ini menarik sekaligus cukup menggelitik ya menurut gue. Karena begini, sebagai orang yang cukup persistent dengan idealisme hak asasi manusia serta idealisme kesetaraan gender, kalimat ini hanya bermakna satu arah. Sedangkan perkawinan itu sebenarnya dua arah, kan? Kalau ada kalimat semacam kalimat di atas, seharusnya ada kalimat pengikutnya seperti kalimat di bawah.

“Apakah kamu mampu bekerja sekaligus menjadi suami dan ayah yang sama baiknya?”

Karena begini, menurut gue, menopang tanggung jawab menjadi seorang istri atau menjadi seorang suami sama beratnya. Menopang tanggung jawab menjadi seorang ibu atau menjadi seorang ayah juga sama beratnya. Jadi, kenapa harus muncul kalimat tanya seperti kalimat tanya di awal tadi tanpa embel-embel kalimat tanya seperti yang baru aja gue tambahkan? Kenapa bekerja + menjadi istri yang baik + menjadi ibu yang baik sampai dipertanyakan kesanggupannya sedangkan bekerja + menjadi suami yang baik + menjadi ayah yang baik tidak dipertanyakan?

Kalimat tanya di awal tadi memang bias gender, ya. Ada dua kemungkinan, sebenarnya, kenapa pertanyaan tersebut bunyinya menjadi timpang.

Kemungkinan 1

Si penanya (dan para pihak yang setuju dengannya) menganggap menjadi istri yang baik dan menjadi ibu yang baik adalah SEBEGITU beratnya. Lalu kalau dipikir-pikir lebih lanjut, bukannya kita jadi mengecilkan peranan laki-laki sendiri dengan menganggap bekerja + menjadi suami yang baik + menjadi ayah yang baik TIDAK BEGITU berat? Jahat sekali, ya, si penanya ini. Selama ini gue pikir, seperti yang sudah sempat gue sampaikan di atas, tanggung jawab menjadi seorang istri atau menjadi seorang suami sama beratnya. Begitu pun tanggung jawab menjadi seorang ibu atau menjadi seorang ayah juga sama beratnya.

Kemungkinan 2

Si penanya (dan para pihak yang setuju dengannya) menganggap menjadi istri yang baik maupun menjadi suami yang baik SAMA beratnya. Begitupun dengan menjadi ibu yang baik maupun menjadi ayah yang baik juga SAMA beratnya. Namun, si penanya berpikir perempuan aren’t capable doing all those things simultaneously. Si penanya berpikir perempuan TIDAK MAMPU meng-handle ketiganya—berperan sebagai ketiganya karena perempuan adalah makhluk yang lemah, yang harus selalu dilindungi, yang harus berbakti pada suami (LIKE ALL TIME), yang lagi-lagi pekerjaannya berkisar pada 3 hal : SUMUR, DAPUR, KASUR. Sedangkan laki-laki adalah makhluk yang selalu lebih kuat dan paling kuat, laki-laki 100% berkebalikan dengan perempuan. Gue jadi punya pertanyaan :

  1. Menurut si penanya ini, laki-laki yang dia maksud sebenarnya manusia atau ?

  2. Si penanya ini hidup di abad berapa ya sampai perempuan SEBEGITU hinanya dan laki-laki SEBEGITU hebatnya?

Dengan tulisan ini, gue nggak ada niatan untuk mengubah persepsi bahwa perempuan sehebat ITU. Ataupun laki-laki sehina ITU. Nggak, nggak, bukan begitu. Coba deh dilihat lagi di dua kemungkinan yang sudah gue jabarkan di atas. Gue sama sekali tidak setuju dengan kemungkinan pertama (kalau gue feminis garis keras, harusnya gue setuju dong dengan poin itu?) sedangkan gue juga tidak setuju dengan kemungkinan kedua.

Maksud gue begini, sebagai manusia yang beradab, terpelajar, dan (katanya) pintar, seharusnya kita bisa sadar bahwa sudah tugas kita untuk tidak lagi membeda-bedakan laki-laki dan perempuan apalagi hanya karena orientasi seksual/identitas gendernya. Lagi-lagi, tanpa bermaksud menyinggung, jangan terlalu terpaku dengan doktrin. Apalagi doktrin abal-abal (sorry to say this) semacam istri harus taat kepada suami sehingga suami bilang istri tidak boleh bekerja lantaran bekerja dan mengurus anak adalah hal yang tidak mudah, lalu main turuti saja. Begini guys, tugas mengurus dan memelihara anak serta memelihara rumah tangga adalah tugas kedua belah pihak di dalam suatu keluarga. Kedua belah pihak, see, jadi tugas perempuan dan laki-laki. Bukan salah satunya saja, bukan juga lantaran salah satunya memiliki tugas yang lebih berat, apalagi bila pembelaannya adalah karena salah satunya tidak mampu melakukan hal-hal yang seharusnya dapat ia lakukan secara sekaligus.

Perempuan dan laki-laki bila dipandang secara general memang berbeda, perempuan memiliki vagina sebagai organ vitalnya dan laki-laki memiliki penis. Perempuan dan laki-laki memiliki tingkat emosi yang berbeda, pola pertumbuhan yang berbeda, juga pola pikir yang mungkin saja berbeda. Namun, jangan karena perbedaan-perbedaan semacam itu, kedudukan perempuan dan laki-laki juga dibedakan.

Perbedaan-perbedaan mendasar secara psikologis dan biologis antara laki-laki dan perempuan tidak seharusnya membuat kita lupa bahwa MANUSIA punya kedudukan yang SETARA

Mempertanyakan kesanggupan seorang perempuan untuk bekerja + menjadi istri yang baik + menjadi ibu yang baik tanpa mempertanyakan kesanggupan seorang laki-laki untuk bekerja + menjadi suami yang baik + menjadi ayah yang baik lagi-lagi adalah salah satu langkah melupakan kedudukan manusia yang setara.

Manusia yang seutuhnya adalah manusia yang memanusiakan manusia lainnya.

Diskriminasi adalah bentuk pengabaian kedudukan manusia yang setara,

Apakah dengan diskriminasi, kita memanusiakan manusia?

Apakah dengan diskriminasi, kita pantas disebut sebagai manusia?

Annisa Erou.

29-4-2015

Related Posts

See All

Comments


All Rights Reserved. © 2016-2018 by Annisa Erou

  • Grey Facebook Icon
  • Grey Instagram Icon
  • Grey Twitter Icon
  • Grey Google+ Icon
  • Grey Pinterest Icon
bottom of page