top of page

Racauan Soal Borneo

  • Writer: Annisa Erou
    Annisa Erou
  • Jan 30, 2017
  • 4 min read

Diambil dari: http://www.traveltourismblog.com/borneo.php

Seharusnya tulisan kali ini ditulis dalam Bahasa Inggris karena beberapa tulisan sebelumnya sudah ditulis dalam Bahasa Indonesia. Tetapi, jangankan masalah bahasa, sampai beberapa detik lalu saja aku tidak tahu harus menulis apa. Sewaktu mendengar Moonlight Shadow Piano Version-nya Groove Coverage, baru aku berpikir mungkin tidak ada salahnya menulis mengenai kehidupan, setidaknya dari sudut pandangku, ketika aku masih tinggal di Borneo.

Somehow, I think Borneo sounds more exotic to my ears rather than Kalimantan, so bear with me.

Moonlight Shadow itu adalah salah satu lagu yang kudengarkan hampir sepanjang waktu ketika itu. Lagu itu, di samping As Long As You Love Me-nya Backstreet Boys dan Making Love Out of Nothing At All-nya Air Supply, juga merupakan salah satu teman karibku ketika aku sekeluarga melakukan perjalanan darat ke Banjarmasin.

Bagi sebagian orang yang cukup dekat denganku, mungkin mereka sudah lumayan bosan mendengarkan ceritaku, atau lebih tepatnya bila disebut sebagai racauanku, mengenai Borneo. Habis bagaimana, ya, Borneo itu adalah salah satu faktor penting yang membentuk Annisa Erou seperti Annisa Erou yang sekarang ini.

Kecintaanku dan impian besarku soal India dan Afrika juga tidak jauh-jauh terinspirasinya dari Borneo. Sayangnya, ketika tinggal disana selama lebih kurang 6 tahun, aku masih terlalu kecil sehingga belum begitu jatuh cinta pada Fotografi dan tidak banyak foto yang bisa kutemukan terkait dengan itu, kalau tidak dibilang tidak ada sama sekali.

Ketika pertama kali mendengar ayahku ditugaskan di sana karena status ikatan dinasnya dan kami sekeluarga harus pindah serta meninggalkan kakek dan nenekku di Jakarta, aku sedih sekali sampai menangis sebelum kereta yang kami tumpangi berangkat ke Semarang lalu lanjut terbang ke Borneo—aku berada di kelas 2 SD pada saat itu. Yang tidak kuketahui dan baru kusadari belakangan, justru seharusnya perasaan sedih sampai menangis itu lebih tepat bila kualami pada saat akan terbang keluar dari sana dan kembali ke Jakarta. Bagaimana tidak, Borneo itu seperti surga, kok, bagiku pada saat itu.

Hutannya, hasil lautnya, orang-orangnya, budayanya, kulinernya dan… petualangannya. Kau tahulah aku, dari kecil saja aku sudah mulai tertarik pada aspek petualangan yang ditawarkan dari pulau itu, meskipun kalau dipikir-pikir, aku hanya sempat mencicipi untuk tinggal di salah satu bagian kecilnya dan berjalan-jalan ke sisi timur—Sampit, Palangkaraya dan Banjarmasin—dari tempat kami bermukim.

Omong-omong soal petualangan, sebenarnya semuanya terasa seperti petualangan pada saat itu.

Perjalanan perdana ke Borneo dengan menumpangi pesawat kecil yang hanya muat beberapa belas penumpang saja dari Semarang, perjalanan ke Kotawaringin Lama lalu disuguhi Ikan Lais Bakar maupun Ikan Lais Goreng, perjalanan ke Tanjung Puting hingga sandalku diambil salah satu Orangutan di sana, perjalanan ke Palangkaraya untuk mengikuti Lomba Bahasa Indonesia cabang Sinopsis dan mencoba mall di Borneo untuk pertama kalinya—kota tempat kami bermukim tidak punya mall pada saat itu, jadi, mengunjungi Palma alias Palangkaraya Mall lumayan menyegarkan bagi aku dan teman-temanku,—perjalanan ke Banjarmasin melalui wilayah Asam Baru yang agak seram karena kami sudah diwanti-wanti tidak boleh berhenti apalagi sampai mogok di sana, hingga perjalanan liburan ke Jakarta melalui Semarang dengan menggunakan kapal laut yang diawali dengan lepasnya sandalku di tangga curam yang kunaiki agar sampai ke dek kapal dan diakhiri dengan mabuk laut habis-habisan yang membuat kami semua agak trauma untuk melakukan perjalanan laut lagi. Terlepas dari semua perjalanan itu, tinggal di kotanya saja dan mencoba makanan ini-itu setiap waktunya juga merupakan petualangan—satu minggu sekali yaitu setiap hari Minggu, kami selalu melakukan wisata kuliner.

Indah, sekali lah, pokoknya. Dulu, ketika aku berada di kelas 1 SMP yang merupakan tahun terakhirku di sana, organisasi ekstrakurikuler yang kuambil adalah Palang Merah Remaja (PMR). Instruktur PMR-nya adalah salah satu guru favoritku di sekolah, Bu Sri namanya. Kemudian, salah satu instruktur tamu yang datang mengisi pertemuan PMR kami adalah ayahku. Dan bahkan, salah satu tempat praktik ayahku berada tepat di seberang SMP-ku pada saat itu. Memang tempatnya lumayan strategis dan biar kuberi tahu kepadamu, bersekolah di kota kecil tempat kami bermukim itu membawa salah satu kenangan besar yang sampai sekarang masih aku ingat-ingat. Kau tahu apa? Sering sekali diadakan pawai (parade atau karnaval, kalau lebih kerennya) yang meskipun melelahkan, tetapi lumayan menyenangkan untuk dilakukan bersama sahabat-sahabat karibmu ataupun gebetanmu.

Tentu saja, aku suka semuanya. Tapi, kalau disuruh memilih, Tanjung Putinglah yang kemungkinan besar akan menarikku kembali ke sana suatu saat nanti—mudah-mudahan, sih, dalam waktu dekat, ya. Perjalanan yang harus ditempuh untuk sampai ke sana itu termasuk sungai-sungainya, hutannya, trekking-nya, dan melihat kehidupan liar dari jarak dekat itu yang membuatnya begitu… aduh, apa, ya, pokoknya keren, deh. Kau harus mencoba merasakannya sendiri! Tanjung Puting juga yang membuatku di kemudian hari menyadari bahwa seorang petualang itu selalu bisa berpetualang tanpa harus mengorbankan gayanya maupun prinsipnya. Aku belajar itu dari Bu Wiwin, guru Kimia-ku yang amat sangat cantik sekaligus amat sangat pintar.

Sepertinya itu saja yang bisa kuceritakan—atau kuracaukan—kali ini soal Borneo. Karena begitu menyenangkannya dan memorable-nya, aku sampai berharap mudah-mudahan ketika aku sudah berkeluarga dan punya anak nanti, kami bisa tinggal di pedalaman juga. Tidak harus di Borneo. Bisa saja di Papua, atau lebih bagus lagi di Afrika, atau sekalian saja di semuanya. Aku dan adikku—yang menghabiskan masa kecil dan sebagian masa remaja kami di Borneo—percaya bahwa membesarkan anak melalui kehidupan pedalaman yang tidak semewah kehidupan metropolitan dan berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya akan membuat anak itu kaya—akan ilmu, akan budaya, akan bahasa, akan tata-krama dan akan pengalaman.

Seperti itulah.

Omong-omong, supaya kau tidak penasaran, kawan, kota tempat kami tinggal itu namanya Pangkalan Bun, pesawat yang hanya muat mengangkut beberapa belas orang dari Semarang ke Pangkalan Bun pada saat itu namanya Deraya, dan Orangutan yang mengambil sandalku namanya Siswi. Aku juga akan memasukkan beberapa gambar dari internet untuk mendukung racauanku ini supaya kau bisa lebih mudah membayangkannya di kepalamu, hehehe.

Nanti kita berkunjung ke sana bersama-sama, ya.

Senin, 30 Januari 2017, 5.39 sore,

AE

Comentários


All Rights Reserved. © 2016-2018 by Annisa Erou

  • Grey Facebook Icon
  • Grey Instagram Icon
  • Grey Twitter Icon
  • Grey Google+ Icon
  • Grey Pinterest Icon
bottom of page