top of page

Fajar di Puncak Sikunir

  • Writer: Annisa Erou
    Annisa Erou
  • Aug 21, 2016
  • 4 min read

Diambil di : Puncak Sikunir, Desa Sembungan, Wonosobo, Jawa Tengah, Indonesia

“Katanya, kita baru bisa menghargai keajaiban dari matahari terbit kalau kita sudah menunggu lama di dalam kegelapan.” Juna kepada Lyla, Sunrise, With You –Orizuka

Sebelum terlalu lama dan menjadi lupa, akan kututurkan sekarang saja bagaimana kisah mengejar fajar di Puncak Sikunir.

Berada di ketinggian 2.263 meter di atas permukaan laut*, Sikunir terkenal di mata para pelaku perjalanan sebagai surga berburu fajar. Sebelum aku benar-benar pergi ke sana, aku sudah melihat pemandangan Sikunir dari foto-foto yang diambil oleh para pelaku perjalanan lainnya yang telah berkunjung ke sana lebih dulu. Bahkan setelah sampai di Dieng pada pagi hari pertama pun, aku sudah kelewat semangat dan penasaran dengan Sikunir aslinya dan tak henti-hentinya mengatakan kalau Sikunir itu luar biasa kepada teman seperjalananku.

Kami berangkat pukul 2.30 dini hari menuju Bukit Sikunir. Menurut jadwal perjalanan, seharusnya kami sudah mulai berangkat pukul 2. Namun, apa daya, kami berenam yang tidur bersama di kamar homestay tidak ada yang mendengar alarm berbunyi. Jadi, berbekal ketukan—atau gedoran lebih tepatnya—dari tour leader kami di pintu, barulah kami ngebut bersiap-siap, berkumpul bersama dengan yang lainnya lalu berangkat.

Guide lokal kami—Mas Aji namanya—mengatakan bahwa bus tidak bisa masuk hingga bagian depan jalur pendakian karena bus hanya bisa berhenti di parkiran dekat loket masuk. Jadilah kami harus naik ojek untuk sampai di sana. Begitu sampai di sana dan semua anggota rombongan sudah berkumpul, kami mulai berjalan dengan sedia senter di tangan masing-masing.

Pada awalnya, jalanannya itu masih berpaving, kawan. Lantas, aku pikir, Ah, yang begini sih berarti bukan trekking. Lihat saja, jalanannya bagus kok! Terlebih lagi, ada papan kecil di bagian kiri jalan yang menyatakan bahwa Puncak Sikunir sejauh 800 meter ke atas. Berarti tidak jauh-jauh amat dong, begitu pikirku.

Ternyata, aku memang sok tahu dan terlalu pede.

Beberapa puluh meter kemudian, barulah pendakian yang sebenarnya dimulai. Tidak ada jalanan berpaving lagi. Sudahlah gelap, jalanan mendakinya itu ternyata lumayan terjal. Sudah begitu, mengingat reputasinya sebagai surga berburu fajar, ada banyak pelaku perjalanan lain yang berasal dari rombongan perjalanan yang berbeda-beda. Jadi, antara anggota rombongan perjalanan kami sendiri pun sudah berpisah-pisah tak tahu kemana. Aku beberapa kali meminta berhenti sebentar kepada teman seperjalananku karena pendakian itu cukup melelahkan dan terasa seperti tidak sampai-sampai di puncak. Meskipun begitu, karena memang masih malam dan gelap gulita, pendakian kami itu beratapkan ratusan bintang di langit yang berkerlip mengagumkan.

Setelah mendaki, mendaki, dan mendaki, akhirnya sampailah kami di Puncak Sikunir. Aku mengatakan kepada temanku bahwa aku harus mengambil posisi di bagian yang paling depan karena aku harus memotret, jadilah kami bersepakat untuk berpisah dan bertemu lagi nanti. Yah, meskipun baru belakangan kuketahui bahwa si cowok Conor Maynard KW itu** ternyata mengambil tempat untuk menanti fajar tidak jauh dari tempat temanku duduk yang membuatku jadi lumayan keki karena iri.

Sementara itu, aku tidak pernah menyangka kalau mengejar fajar di Sikunir itu berarti menantinya sekitar satu jam-an lebih. Kami kira-kira sampai di Puncak Sikunir sekitar pukul 4 kurang, aku tidak tahu jam berapa tepatnya karena aku tidak membawa jam tangan—pelaku perjalanan macam apa ya yang melakukan perjalanan tanpa membawa petunjuk waktu?—dan kami harus menunggu sampai pukul 5 lebih. Bahkan, pemuda yang berada di sampingku saja sampai mengatakan kepada temannya, "Kita bilang saja pada tour leader kita, aduh Mbak, maaf tidak bisa turun bukit pukul 5.30, mataharinya saja telat nih datangnya karena semalam habis nonton Jazz"

Sebenarnya yang membuat kami sulit merasa sabar menunggu matahari terbit itu adalah rasa dinginnya itu, kawan. Mungkin suhunya itu bahkan lebih dingin daripada suhu pada malam hari sebelumnya ketika menonton pertunjukan Jazz Atas Awan. Terlebih lagi, aku kehilangan satu sarung tanganku ketika sedang sibuk mencari-cari senter sebelum pendakian dimulai, jadi aku terpaksa tidak menggunakan sarung tangan apapun sehingga merasa tanganku sudah beku menopang kamera menanti matahari terbit yang tidak kunjung datang.

Barulah sekitar pukul 5 lewat—lagi-lagi aku tidak tahu pukul berapa tepatnya, maaf—langit mulai terbiaskan rona jingga yang lembut, walaupun matahari belum juga keluar. Meskipun demikian, kami sudah sibuk memotret dengan kamera, ponsel atau gadget apapun yang kami miliki.

Mataharinya itu sendiri baru terbit sekitar pukul 5.30-an dan bahkan aku saja sudah mau berjalan menuruni bukit ketika itu karena kukira matahari tidak akan keluar lantaran langit mendung.

Ternyata bukan langitnya yang mendung, kawan, manusia-manusianya saja yang tidak sabaran.

Kau tahu, setelah penantian kami-kami yang tidak sabaran ini, matahari akhirnya muncul dengan sempurna, bulat penuh berwarna jingga seperti telur mata sapi kesukaanmu yang baru saja matang. Sindoro, Sumbing dan Prau melengkapi pemandangan itu. Ah, sayang sekali kau tidak disana bersamaku.

Pada akhirnya, apa yang dikatakan Juna kepada Lyla sebagaimana yang dituliskan Orizuka memang benar.

Kita baru akan menghargai keajaiban fajar kalau kita sudah terlalu lama berada dalam gelap.

Kita baru akan menghargai nyamannya rasa hangat kalau kita sudah terlalu lama mengendap dalam dingin.

Sikunir memang surga.

Matahari memang melahirkan bahagia.

Untuk para pelaku perjalanan yang tidak kenal lelah,

Ataupun juga mereka yang kelelahan namun tak pernah berhenti berusaha,

Mari kembali berjuang dalam dingin dan pulang dalam hangat,

20 Agustus 2016 5.36 sore

Annisa Erou

*menurut www.sikunir.com

**baca tulisan “Cerita Perjalanan ke Negeri di Atas Awan”

コメント


All Rights Reserved. © 2016-2018 by Annisa Erou

  • Grey Facebook Icon
  • Grey Instagram Icon
  • Grey Twitter Icon
  • Grey Google+ Icon
  • Grey Pinterest Icon
bottom of page