Dan Waktu Kita Terbuang oleh Ketikan-Ketikan Tak Penting
- Annisa Erou
- Jul 23, 2016
- 3 min read
Jadi, tadinya aku tidak ingin menulis apa-apa hingga minggu depan. Tapi, kenyataannya akhir-akhir ini aku sering merasa kesal. Dan kupikir bahwa aku harus menulis supaya aku tidak kesal-kesal amat dan hari-hariku bisa sedikit lebih bahagia.
Beberapa hari yang lalu aku menemui sahabatku di salah satu mall dekat kampus tempat kami belajar. Pertemuan itu adalah tradisi yang rutin kami lakukan pada saat libur kuliah dan kami niatkan akan terus kami lakukan kemungkinan hingga kami menjadi pengacara yang sukses suatu saat nanti--setidaknya, sahabatku memang sudah pasti berniat menjadi pengacara, sedangkan aku masih luntang-lantung berpikir kesana kemari yang tak kunjung tercerahkan. Pertemuan itu biasanya kami lakukan di suatu kota kecil tempat ia tinggal yang kebetulan terletak di ujung perhentian kereta. Namun, beberapa hari yang lalu kami memutuskan untuk bertemu di salah satu mall dekat kampus tempat kami belajar saja.
Pertemuan itu dimulai--dan diakhiri--dengan acara makan-makan saja di dua tempat makan yang berbeda lantaran sedang tidak ada film bagus yang diputar di bioskop yang biasa kami kunjungi. Seperti biasanya,--sambil bergosip ini-itu tak karuan--kami menyusun kelas-kelas berikut nama dosennya yang akan kami ambil di semester berikutnya. Tapi, tidak lama setelah makanan yang kami pesan datang, aku mulai kesal karena sahabatku ini mulai sibuk dengan ponselnya sendiri. Ya, ya, aku tahu, sahabat aku itu orang yang sibuk dengan berbagai kegiatan yang diikutinya. Hanya saja, aku adalah tipe orang yang tidak bisa untuk tidak merasa kesal jika acara makan siang--atau acara apapun juga--yang sudah disepakati bersama-sama dan dibuat untuk menghabiskan waktu bersama-sama, justru harus habis karena kami sibuk dengan urusan masing-masing melalui media bernama ponsel sialan. Oke, mungkin namanya bukan ponsel sialan, tapi kalau tujuan dilakukannya acara makan siang bersama itu tidak tercapai hanya karena ponsel, kan, berarti bisa saja kalau kusebut itu dengan ponsel sialan.
Pernah juga, sekitar beberapa bulan yang lalu di pertengahan semester berlangsung, aku juga mengadakan acara makan siang dengan salah satu teman diskusiku. Setelah memegang baki makanan masing-masing dan duduk di salah satu pojok restoran tempat kami makan, kami mulai berdiskusi mengenai topik-topik yang menurut kami menarik dan membedahnya melalui berbagai sisi. Hanya saja, beberapa menit kemudian, ia juga mulai sibuk membuka ponselnya dan akhirnya meninggalkan diskusi kami. Tidak, tidak, ia tidak meninggalkanku begitu saja, kok. Tapi kan tetap saja diskusi kami terpaksa berakhir. Dan beberapa menit kemudian, ia barulah mengatakan supaya tidak terlalu tergantung dengan ponselnya karena lebih baik menghabiskan quality time kami dengan melanjutkan diskusi. Ck, kemana saja?
Lain lagi, kira-kira enam bulan yang lalu, aku bertemu lagi dengan seorang sahabat lama yang kini sedang studi di fakultas kedokteran salah satu universitas ternama di wilayah Jawa Barat. Pada saat kami menonton film di bioskop maupun pada saat kami menyantap makanan masing-masing beberapa jam setelahnya di food court yang tidak jauh dari bioskop tersebut, ia beberapa kali terlihat sibuk sendiri juga dengan ponselnya.
Oke, mungkin sebagian dari kalian yang sedang membaca ini kemudian menganggap bahwa aku orang yang ribet, selalu merasa harus didahulukan hingga tidak mau diabaikan sedikitpun dengan keberadaan ponsel dengan notifikasi yang seringkali berbunyi untuk menandakan hal penting.
Begini, teman-teman. Aku berusaha untuk tidak sama sekali menjadi orang yang harus selalu didahulukan. Tapi, aku selalu percaya bahwa ketika kita sudah membuat janji temu dengan seseorang, maka kita pada dasarnya sudah membuat komitmen untuk meluangkan sebagian dari waktu kita agar bisa terikat dengan orang itu—entah itu berupa makan siang, makan malam, menonton di bioskop atau apapun yang lainnya. Ketika kita sudah membuat komitmen sedemikian rupa, apalah susahnya untuk menghargai waktu yang juga sudah diluangkan oleh seseorang tersebut?
Apakah susah untuk mendengarkan cerita-ceritanya ataupun berdiskusi dengannya tanpa melibatkan ponsel yang ah, seringkali juga notifikasinya memberitahu hal-hal terbaru yang tidak demikian penting?
Apakah susah untuk bertahan dengan komitmen asal untuk terikat dengan orang yang sudah kau buat janji temu dengannya demi menghabiskan waktu bersama-sama?
Apakah sekarang ini sudah begitu susah bagi kita, manusia, untuk menghargai orang lain dan lalu lantas menyebut orang tersebut berlebihan atau ‘lebay’ jika ia kemudian menuntut haknya?
Aku mulai tidak sadar hidup di zaman apa kita sekarang.
Tidak, tidak, aku tidak anti perkembangan zaman dimana sekarang hampir semua orang mempunyai ponsel sebagai kebutuhan mereka, kok. Bahkan aku pun seringkali mensyukuri kemajuan teknologi yang dalam banyak aspek memudahkan hidup kita.
Yang aku tidak bisa syukuri--kalau terlalu keras untuk dibilang sesali--adalah bila kita mengesampingkan hak orang lain untuk dihargai, mengatainya berlebihan dan mengedepankan ponsel kita yang katanya memberitahu kabar penting, padahal tidak juga, lalu menghabiskan waktu tersebut dengan ketikan-ketikan tak penting pada ponsel sialan itu.
Kita tidak akan mati karena tidak ada ponsel hanya untuk beberapa jam, teman.
Ada yang jauh lebih berharga dibanding ponselmu itu.
Yakni waktu, persahabatan, dan kenangan.
Annisa Erou
22 Juli 2016 4.04 sore
P.S : Tulisan ini tidak dibuat dengan maksud menyinggung orang-orang yang disebut di atas, tenang saja, aku masih menyayangi kalian. Ini ditulis dengan maksud untuk menjadi pengingat agar kita menjadi manusia yang mengikuti perkembangan zaman, tapi juga tetap menghargai sesama.
Comentários